In ‘de ongelooflijke’, een bekende podcast met deskundigen Stefan Paas en Beatrice de Graaf wordt regelmatig Augustinus geciteerd, bijvoorbeeld als het gaat om actuele onderwerpen zoals de oorlogen in Oekraïne en in Gaza. Augustinus heeft de opvatting over de rechtvaardige oorlog theologisch onderbouwd. Hij stelde dat oorlog onder bepaalde voorwaarden gerechtvaardigd kan zijn.

In het boek Oorlog zonder genade van Koos-Jan de Jager wordt deze gedachtegang van Augustinus gebruikt door veldpredikers en aalmoezeniers om de koloniale oorlog in Indonesië te rechtvaardigen. Zij waren de mannen die met de Nederlandse troepen mee gingen om geestelijke bijstand te geven. Het idee van de rechtvaardige oorlog kwam de legerleiding goed uit. Zo schrijft Koos-Jan:
In de ogen van de legerleiding was de geestelijke verzorging een krachtig instrument om het militaire moreel te versterken en zo bij te dragen aan de effectiviteit van het optreden. Een hoog moreel bestond vooral uit ‘de wil om te overwinnen in een rechtvaardige zaak’, zo luidde de definitie die de krijgsmacht hanteerde. Aan geestelijken de taak om die rechtvaardigheid duidelijk te maken.
Zo stonden veel predikanten en veel kerkleden achter de strijd tegen de Indonesische revolutie.
Een tegengeluid was ook in de kerken zeker te horen. Bij voormannen van zending en missie, zoals Hendrik Kraemer, was begrip voor het Indonesische nationalisme. Zij kenden de Indonesische samenleving veel beter dan de predikers en aalmoezeniers en wisten hoe diep het Indonesisch nationalisme leefde, ook in de kerken in Indonesië.
Voor Jan Soldaat was het een essentiële vraag: streed hij in een rechtvaardige oorlog? Hoewel de meesten vonden dat zij streden voor een rechtvaardige zaak, waren er genoeg die twijfelden, enkelingen die dienst weigerden of zelfs overliepen naar de Republiek, zoals Poncken Princen. Hoe stond Arend hierin? Hij kwam uit een gereformeerd gezin, maar over de rol van het geloof in zijn tijd in Indonesië heeft hij weinig gezegd en is daardoor weinig duidelijk. Ik heb in zijn spullen alleen een foto gevonden van een veldprediker bij een begrafenis. Verder geen enkel teken van kerk of geloof.

Maar na terugkeer uit Indonesië wordt Arend actief in de dan florerende kerkelijke jeugdbeweging, gaat mee met christelijke jeugdkampen, trouwt kerkelijk en is begin jaren vijftig ook gesignaleerd op de kansel van de Noorderkerk, de Hervormde wijkgemeente in Haarlem-Noord. Het geloof was voor hem een belangrijk moreel kompas in zijn leven en hij sprak duidelijk uit dat hij de inzet van Nederlandse militairen tegen de Indonesiërs niet te rechtvaardigen vond. Integendeel, in zijn ogen hadden de Indonesiërs het recht aan hun kant.
Daarmee zei hij niet dat gelovigen geen gerechtvaardigde oorlog kunnen voeren. Alleen dat in dit conflict het Nederlandse leger aan de verkeerde kant van de geschiedenis heeft gestaan.
Zijn broer Co, die ook als militair naar Indonesië is geweest, ging een stap verder. Zijn ervaringen in Indonesië vormden zijn overtuiging en hij werd pacifist. Iedere soldaat maakte voor zichzelf de balans op en velen hebben hun leven lang met de dilemma’s geworsteld.
Membenarkan Perang
Dalam ‘De Ongelooflijke’ (Yang Tak Terpercaya atua Yang Tak Masuk Akal) , sebuah podcast terkenal dengan para ahli seperti Stefan Paas dan Beatrice de Graaf, Augustinus sering dikutip, terutama ketika membahas isu-isu aktual seperti perang di Ukraina dan Gaza. Augustinus memberikan dasar teologis atas gagasan tentang perang yang adil. Ia berpendapat bahwa perang dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu.
Dalam buku Oorlog zonder genade (Perang tanpa Belas Kasihan) karya Koos-Jan de Jager, pemikiran Augustinus ini digunakan oleh pendeta militer dan pastor untuk membenarkan perang kolonial di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang ikut bersama pasukan Belanda untuk memberikan bimbingan rohani. Gagasan tentang perang yang adil sangat berguna bagi pimpinan militer. Koos-Jan menulis:
“Dalam pandangan pimpinan militer, pembinaan rohani adalah alat yang kuat untuk memperkuat moral militer dan dengan demikian meningkatkan efektivitas tindakan militer. Moral yang tinggi terutama berarti ‘keinginan untuk menang dalam perjuangan yang adil’, demikian definisi yang digunakan oleh angkatan bersenjata. Para rohaniawan bertugas untuk menjelaskan keadilan tersebut.”
Dengan demikian, banyak pendeta dan jemaat gereja mendukung perjuangan melawan revolusi Indonesia.
Namun, suara penentangan juga terdengar di gereja-gereja. Tokoh-tokoh misi dan zending, seperti Hendrik Kraemer, menunjukkan pemahaman terhadap nasionalisme Indonesia. Mereka mengenal masyarakat Indonesia jauh lebih baik daripada para pendeta militer dan pastor, dan mengetahui betapa dalamnya semangat nasionalisme Indonesia, termasuk di kalangan gereja-gereja di Indonesia.
Bagi tentara biasa (Jan Soldaat), pertanyaan penting adalah: apakah ia berperang dalam perang yang adil? Meskipun sebagian besar merasa bahwa mereka memperjuangkan sesuatu yang adil, cukup banyak yang meragukannya — ada yang menolak bertugas, bahkan ada yang membelot ke pihak Republik, seperti Poncken Princen.
Lalu, bagaimana dengan Arend? Ia berasal dari keluarga gereformeerd (Reformed), tetapi ia tidak banyak bicara tentang peran iman selama masa tugasnya di Indonesia, sehingga tidak banyak yang diketahui. Dalam barang-barangnya, saya hanya menemukan satu foto seorang pendeta lapangan dalam sebuah pemakaman. Selain itu, tidak ada tanda-tanda lain mengenai gereja atau keimanan.
Namun, setelah kembali dari Indonesia, Arend menjadi aktif dalam gerakan pemuda gereja yang saat itu berkembang pesat. Ia ikut dalam perkemahan pemuda Kristen, menikah secara gerejawi, dan pada awal tahun 1950-an bahkan pernah terlihat berkhotbah di mimbar Noorderkerk, sebuah jemaat Hervormd di Haarlem-Noord. Iman menjadi kompas moral yang penting dalam hidupnya, dan ia secara tegas menyatakan bahwa keterlibatan militer Belanda melawan rakyat Indonesia tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya, menurutnya, rakyat Indonesia berada di pihak yang benar.
Namun, ini tidak berarti bahwa orang beriman tidak boleh berperang dalam perang yang adil. Ia hanya percaya bahwa dalam konflik ini, militer Belanda berada di pihak yang salah dalam sejarah.
Saudaranya, Co, yang juga sebagai tentara di Indonesia, melangkah lebih jauh. Pengalamannya di Indonesia membentuk keyakinannya dan ia menjadi seorang pasifis. Setiap tentara membuat perhitungan pribadi, dan banyak dari mereka bergumul dengan dilema ini sepanjang hidup mereka.

Plaats een reactie